JADAM: Meniru Alam untuk Pertanian Organik yang Lebih Mudah dan Murah
Pertanian alami kembali menjadi tren global, khususnya di negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang. Konsep utamanya adalah meniru cara kerja alam untuk menciptakan praktik pertanian organik yang tidak hanya mudah, tetapi juga ekonomis. Salah satu metode yang paling terdokumentasi adalah JADAM, singkatan dari Jayonul Damun Saramdul dalam bahasa Korea yang berarti “orang yang meniru alam”.
Gagasan ini dibahas secara mendalam dalam webinar Intan Talk edisi ke-172 (20/08/202) yang dilaksanakan secara online malalui Zoom Meeting dan ditayangkan langsung melalui kanal youtube Tani.TV dengan narasumber Farid Gaban, Direktur Pelaksana Yayasan Diaspora Wonosobo, dan Ketua Umum Intani, Guntur Subagja Mahardika. Keduanya sepakat bahwa praktik pertanian konvensional yang mengandalkan pupuk kimia telah menyebabkan kerusakan tanah, penurunan produktivitas, dan peningkatan biaya produksi. Sebaliknya, pertanian alami menawarkan solusi yang efisien, di mana biaya pupuk dan obat dapat ditekan secara drastis karena bahan-bahannya bisa dibuat sendiri dari sumber daya di sekitar.
Tiga Pilar Utama JADAM
JADAM berfokus pada pengembalian kesuburan tanah, dengan tiga prinsip utama yang terinspirasi dari ekosistem hutan:
- Memperkaya Mikroorganisme: Tanah hutan adalah “harta karun” mikroorganisme. JADAM mengajarkan cara memindahkan kekayaan ini ke lahan pertanian. Daun lapuk (leaf mold) dari hutan menjadi bahan utama, karena setiap gramnya mengandung miliaran mikroba. Dengan mencampurkan daun lapuk, air lunak, dan nutrisi sederhana seperti kentang rebus, petani dapat membuat Larutan Mikroba JADAM (JMS). Larutan ini memperkuat benih, mengurangi hama, dan mengaktifkan kehidupan mikroba di tanah.
- Memperkaya Bahan Organik: JADAM mendorong pemanfaatan limbah tanaman, gulma, dan kotoran hewan untuk meningkatkan materi organik tanah. Limbah panen seperti jerami padi tidak dibuang atau dibakar, melainkan dikembalikan ke tanah untuk diurai menjadi pupuk. Berbagai bahan organik lokal seperti rumput liar, sisa dapur, eceng gondok, bahkan limbah ikan bisa difermentasi untuk membuat Pupuk Cair Berbasis Organik (CLF) yang kaya nutrisi spesifik seperti nitrogen, fosfat, dan kalium.
- Memperkaya Mineral: Panen dan erosi menyebabkan mineral tanah terus berkurang. JADAM menyiasatinya dengan menambahkan mineral secara alami, terutama menggunakan garam laut atau batuan. Air laut kaya akan mineral, tetapi harus diencerkan 30-100 kali sebelum digunakan. Sebagai alternatif, garam kerosok (garam kasar) atau tepung dari batuan yang dihaluskan juga bisa dipakai.
Manfaat dan Implementasi di Lapangan
Penerapan pertanian JADAM telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Dalam program Kampung Sasembada Pangan yang merupakan kerja sama Intani dan PT Pegadaian, lahan yang semula hanya menghasilkan 3-4 ton/hektar di Karawang kini bisa mencapai 6 ton/hektar. Di Bantul, hasil panen mencapai 8,6 ton/hektar, dan para petani melaporkan bahwa tanah mereka menjadi lebih gembur serta banyak cacing kembali.
Selain meningkatkan produktivitas, JADAM juga menawarkan manfaat lain:
- Efisiensi: Praktik ini mengarah pada sistem zero limbah di mana limbah peternakan, pertanian, dan perikanan saling dimanfaatkan.
- Kualitas Tanaman: Tanah yang kaya mikroba menghasilkan gula (brix) yang membuat sayuran dan buah-buahan organik terasa lebih manis.
- Pengurangan Hama: Keanekaragaman mikroba yang tinggi menciptakan ekosistem alami yang melawan hama.
- Mengurangi Pekerjaan: Gulma tidak lagi dianggap musuh, tetapi dimanfaatkan sebagai pupuk.
Meskipun metode ini dapat diterapkan pada semua jenis tanaman, mulai dari sayuran hingga tanaman keras, kuncinya terletak pada penyesuaian dosis dan komposisi pupuk sesuai kebutuhan spesifik tanaman.
Wacana dan Harapan untuk Pertanian Indonesia
Farid Gaban menekankan bahwa JADAM hanyalah salah satu contoh dari praktik pertanian alami. Indonesia sebenarnya memiliki banyak kearifan lokal yang serupa, seperti sistem pertanian suku Baduy atau Majapahit, yang juga mengandalkan bahan lokal untuk menjaga kesuburan tanah. Ia berharap kearifan ini dapat didokumentasikan dan dipelajari lebih lanjut.
Menurut Farid Gaban, keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah kekayaan terbesar Indonesia. Pertanian organik adalah cara terbaik untuk melestarikan keragaman ini, karena pertanian kimia cenderung merusak ekosistem, termasuk keberadaan serangga penyerbuk yang vital.
Peralihan ke pertanian organik tidak harus 100% langsung. Petani dapat memulainya secara bertahap, misalnya dengan rasio 50:50. Meskipun mungkin ada penurunan hasil di awal, penurunan biaya produksi akan mengimbanginya, dan dalam jangka panjang, tanah yang lebih subur akan meningkatkan potensi panen secara signifikan. Praktik ini juga memberdayakan petani, menjadikan mereka layaknya ilmuwan yang bereksperimen dan belajar dari lahan mereka sendiri.